Para Ateis mungkin berkata bahwa mereka tidak mengakui adanya Tuhan. Tetapi kenyataannya, mereka dalam suatu momen dalam kehidupan mereka, pasti pernah mengakui keberadaan Tuhan. Adanya pengakuan akan keberadaan Tuhan biasanya baru muncul dalam pikiran orang-orang Ateis pada saat dirinya merasa stress berat, seperti yang dipopulerkan oleh pepatah pada Perang Dunia II “Tidak ada ateis di dalam parit perang.”1
Tak dapat disangkal
ada saat-saat – entah ketika menderita penyakit dalam waktu yang lama,
saat-saat seorang perampok menodongkan pistolnya dan melakukan tindakan
kekerasan, atau detik-detik sebelum kecelakaan mobil terjadi di depan mata -
ketika semua manusia mengakui kenyataan dari betapa rapuhnya manusia dan betapa
nasib tidak bisa dikendalikan, kepada siapakah seseorang memohon pertolongan
dalam keadaan seperti itu selain kepada Sang Pencipta? Saat-saat dimana semua
harapan telah sirna harusnya mengingatkan semua orang, mulai dari para pemuka
agama sampai mereka yang mengaku ateis, tentang ketergantungan manusia pada
realitas yang jauh lebih besar daripada diri kita sendiri. Sebuah realitas yang
jauh lebih besar dalam hal pengetahuan, kekuatan, kemauan, keagungan, dan
kemuliaan.
Tidak diragukan
lagi, penderitaan terbesar yang akan dialami manusia adalah pada hari kiamat,
dan seseorang akan sangat tidak beruntung jika dirinya baru mengakui keberadaan
Tuhan untuk pertama kalinya pada hari itu. Penyair Inggris, Elizabeth Barrett
Browning, berbicara tentang ironi manusia di hari kiamat dalam The Cry of Human:
"Dan mulut
mengucapkan “Tuhan ampunilah diriku.” Sedangkan orang yang beriman berkata
“Terpujilah Tuhan."
Seorang ateis yang
bijaksana, yang penuh skeptisisme akan keberadaan Tuhan tapi takut apabila Tuhan
dan hari kiamat benar-benar ada, mungkin bisa memanjatkan 'doa orang skeptis,'
sebagai berikut:
"Ya Tuhan, jika
memang Engkau ada, selamatkanlah jiwaku, jika memang aku memiliki jiwa." 2
"Jika Anda
menemukan alasan untuk percaya adanya Tuhan, kesadaran bahwa Anda bertindak di
bawah pengawasan-Nya, dan Dia meridhoi Anda, akan menjadi pendorong bagi Anda
untuk terus berbuat kebaikan. Jika ada sebuah keadaan di masa depan, berharap
akan kehidupan bahagia di dalamnya akan meningkatkan semangat untuk mengejarnya...
"3
Disarankan kepada
orang-orang yang merasa tidak melihat bukti adanya Tuhan dalam kemegahan
ciptaan-Nya, mereka lebih baik melihat dengan lebih cermat. Seperti yang pernah
dikatakan oleh Francis Bacon, "Saya lebih baik mempercayai semua dongeng
dalam legenda, Talmud, dan Qur’an, daripada mempercayai bahwa jagat raya ini
tidak ada Penciptanya." 4 Lebih lanjut dia berkomentar, "Tuhan tidak
pernah mengadakan mukjizat yang luar biasa untuk meyakinkan orang-orang ateis,
karena karya-Nya yang biasa saja sudah meyakinkan." 5 Yang layak
direnungkan adalah kenyataan bahwa bahkan unsur terendah dari ciptaan Tuhan,
mungkin meskipun Tuhan menganggapnya biasa saja, namun hal ini adalah sebuah keajaiban
dalam pandangan kita. Ambil contoh seekor laba-laba. Apakah ada yang
benar-benar percaya bahwa makhluk bersel satu setelah jutaan tahun pada
akhirnya berevolusi menjadi makhluk yang kompleks seperti itu? Seekor laba-laba
kecil ini dapat memproduksi hingga tujuh jenis jaring, beberapa di antaranya
setipis panjang gelombang cahaya yang kasat mata, tetapi lebih kuat dari baja. Jaring
ini bermacam-macam jenisnya, mulai dari yang elastis dan lengket untuk menjebak
mangsa, sampai yang tidak lengket dan seperti benang untuk untuk membungkus mangsa,
membuat kantung telur, dll. Laba-laba tidak hanya dapat memproduksi tujuh jenis
jaring sesuai dengan kebutuhannya, tetapi juga dapat menyerap kembali, mengurai,
dan mendaur ulang unsur-unsur dari jaring tersebut untuk digunakan kembali. Dan
ini hanya salah satu bagian kecil dari keajaiban laba-laba.
Namun tetap saja manusia meninggikan sikap kesombongan. Luangkanlah waktu sejenak untuk merenung agar kita menjadi lebih rendah hati. Lihatlah sebuah bangunan dan dibaliknya pasti ada seorang arsitek, lihatlah patung dan seseorang langsung memahami bahwa pasti ada pemahatnya. Tetapi ketika memeriksa seluk-beluk penciptaan yang luar biasa, yang begitu rumitnya namun dengan keseimbangan yang sempurna, dari sebuah partikel sampai luasnya jagat raya yang belum dipetakan, bagaimana mungkin seseorang berpikir bahwa tidak ada penciptanya? Dikelilingi oleh lingkungan yang kompleks dan teknologi yang sangat maju, kita sebagai manusia bahkan tidak dapat menciptakan sayap seekor nyamuk. Haruskah kita percaya bahwa dunia dan alam semesta berjalan dalam harmoni yang sempurna sebagai hasil dari kejadian acak? Dari kekacauan kosmik kepada kesempurnaan yang berjalan teratur? Sebagian orang mengatakan ini kebetulan, sebagian lagi mengatakan ini hasil karya Tuhan.
Kebanyakan ateis berargumen
bahwa Tuhan Yang Maha Mencintai berkontradiksi dengan ketidakadilan yang ada
dalam kehidupan, bahwa sebagian orang terlahir dalam keluarga kaya, namun ada
yang terlahir dalam keluarga sangat miskin. Ada yang terlahir dengan kondisi
fisik prima, namun ada juga yang terlahir dalam keadaan cacat secara fisik. Orang-orang
beragama berkata bahwa argumen ini mencerminkan arogansi intelektual - sebuah
asumsi bahwa kita sebagai umat manusia, kita sebagai salah satu elemen dari
ciptaan Tuhan, merasa lebih tahu daripada Tuhan tentang bagaimana ciptaan-Nya harus
berjalan - ditambah dengan kegagalan untuk menghormati rencana-Nya yang jauh lebih
besar.
Fakta bahwa banyak
manusia tidak memahami aspek-aspek tertentu dari kehidupan ini seharusnya tidak
menghalangi keimanan mereka pada Tuhan. Tugas manusia bukanlah untuk
mempertanyakan atau menolak sifat atau eksistensi Tuhan, dan bukan untuk
menjadi arogan dengan mengatakan bahwa seharusnya Tuhan melakukan hal ini dan
itu, melainkan untuk menerima fakta bahwa manusia hanya sementara hidup di
dunia ini. Kita harus melakukan yang terbaik yang dapat dilakukan dengan apa
yang telah diberikan Tuhan kepada kita. Misalnya seseorang yang tidak menyukai
cara bosnya memperlakukan dirinya di tempat kerja, dan tidak memahami keputusan
yang dibuat bosnya, tidak meniadakan keberadaannya. Melainkan, tugas setiap
orang adalah untuk memenuhi tugas dari pekerjaannya agar dia mendapatkan gaji
dan kenaikan jabatan. Demikian pula, kegagalan untuk memahami atau menyetujui
cara Tuhan mengatur dan menjalankan ciptaan-Nya tidak meniadakan
keberadaan-Nya. Sebaliknya, manusia harus mengakui dengan rendah hati bahwa,
tidak seperti bos di tempat kerja yang sewaktu-waktu bisa salah, Tuhan menurut
definisi adalah kesempurnaan mutlak, selalu
benar dan tidak pernah salah.
Manusia harus sujud kepada-Nya dalam ketundukan dan pengakuan bahwa kegagalan
untuk memahami cara kerja-Nya tidak mencerminkan bahwa Dia salah. Sebaliknya,
Dia adalah Tuhan dan Penguasa dari segala makhluk sedangkan kita bukan. Dia
tahu segalanya dan kita tidak. Dia mengatur semua urusan sesuai dengan sifat-sifat-Nya
yang sempurna, dan kita hanyalah hamba-Nya, sepanjang perjalanan hidup kita.
Jiwa-jiwa yang kebingungan
dan sensitif yang mengalami kesulitan menerima keberadaan Tuhan karena mereka
menjalani hidup yang sulit dan menyakitkan layak mendapatkan simpati dan penjelasan.
Jika seseorang menerima kenyataan bahwa Tuhan tahu apa yang Dia lakukan
sedangkan kita tidak, dia lebih baik menenangkan diri dengan memahami bahwa segala
hal yang buruk bisa jadi adalah sesuatu yang baik sebenarnya. Mungkin yang
paling sengsara di antara umat manusia layak mendapatkan hal demikian dalam hidup
mereka untuk alasan yang tak diketahui, dan mungkin mereka hanya menderita
sementara saja di dunia untuk menerima hadiah kekal di kehidupan berikutnya.
Janganlah ada yang lupa, bahwa Tuhan memberikan yang terbaik dari makhluk-Nya
(para nabi) dengan karunia-karunia terbesar seperti keimanan, petunjuk, dan
wahyu; Namun, mereka sangat menderita dalam hal-hal duniawi. Bahkan, cobaan dan
penderitaan yang dialami kebanyakan orang tidak ada apa-apanya dibandingkan
dengan penderitaan para nabi. Jadi orang-orang favorit Tuhan, yaitu para nabi, juga
tidak merasakan kenikmatan dunia ini. Namun penderitaan mereka di dunia ditukar
dengan kenikmatan akhirat yang jauh melebihi kenikmatan dunia. Seseorang yang
menanggung cobaan dan kesulitan dalam hidup ini, namun tetap teguh pada keimanan
yang benar juga mendapatkan pahala yang berlimpah dari sisi Tuhan.
Demikian pula,
seseorang tidak bisa disalahkan karena mengharapkan para penguasa yang dzalim
dan orang-orang kafir untuk memiliki semua kesenangan di dunia ini, tetapi
tidak mendapatkan apa-apa di akhirat. Beberapa orang terjahat yang pernah hidup
di bumi muncul dalam pikiran kita. Firaun, misalnya, hidup dalam kemegahan dan
kemewahan sampai-sampai bahwa ia menyatakan dirinya sebagai tuhan. Dan hal ini
akan berubah seratus delapan puluh derajat ketika dia dibawa kepada pengadilan
Tuhan di akhirat. Kita bisa membayangkan dia menjadi menderita dengan tempatnya
di neraka nanti, dan kenangan akan karpet mewahnya, makanan yang enak, dan para
permaisuri-permaisurinya akan sirna digantikan dengan siksa yang luar biasa
pedih.
Kebanyakan orang
telah memiliki pengalaman yang menyenangkan namun pada akhirnya berakhir buruk.
Tidak ada yang menikmati makan malam mewah yang berakhir dengan perceraian, sebuah
kisah cinta yang berakhir dengan AIDS, atau malam pesta pora yang berakhir
dengan kecelakaan mobil. Demikian pula, tidak ada sukacita dalam hidup ini,
tidak peduli seberapa besar kebahagiaan atau seberapa lama pun durasinya, ketika
kita merasakan 100% luka bakar di sekujur tubuh kita. Di sisi lain, jari kita
hanyalah 1% dari total tubuh kita, namun luka bakar yang kecil pada jari kita membuat
kita merintih kesakitan dan terus mengingat rasa sakitnya. Menderita luka bakar
di seluruh tubuh, terutama jika kita tidak bisa kembali, tidak ada yang mau menolong
kita dari siksaan ini - adalah sesuatu yang tidak bisa dibayangkan manusia.
Beberapa orang yang selamat dari luka bakar seperti ini setuju. Tidak hanya rasa
sakit dari luka bakar itu tidak bisa dibayangkan manusia, namun juga
penderitaan dan pengalaman darinya tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Kengerian
itu tidak dapat sepenuhnya diceritakan oleh yang mengalaminya, dan juga tidak
bisa sepenuhnya dipahami oleh mereka yang belum merasakannya. Tentu saja dibakar
dalam api untuk jangka waktu yang sangaaaattt panjaaangg atau dibakar untuk
selama-lamanya, dapat menghapus semua kenangan yang menyenangkan di masa lalu,
konsisten dengan firman Tuhan bahwa "kehidupan
dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan (yang
sedikit)." (Qs. 13:26 )
Sehubungan dengan
topik ini, dua elemen yang membimbing kesadaran layak dipertimbangkan, yang
pertama bahwa jauh di lubuk hati, semua orang memiliki kepercayaan alami pada
kehadiran Sang Pencipta. Manusia mungkin dapat melupakan kesadaran ini ketika
mencari kesenangan dan kenikmatan dunia ini, tapi jauh di hati kita yang
terdalam, semua manusia tahu yang sebenarnya. Terlebih lagi, Tuhan tahu bahwa
kita tahu, dan hanya Dia yang mengetahui seberapa tunduk atau seberapa membangkangnya
suatu individu.
Unsur kedua untuk
menimbulkan kesadaran spiritual adalah dengan memahami bahwa hampir tidak ada
makan siang yang gratis. Jarang sekali ada orang yang mendapatkan sesuatu tanpa
melakukan apa-apa. Misalnya seseorang bekerja dengan bosnya yang tidak ia sukai
dan tidak ia pahami, namun pada akhirnya ia masih harus melakukan pekerjaannya
untuk mendapatkan gajinya. Tak seorang pun yang pergi ke tempat kerjanya namun
tidak pernah melakukan apa-apa bisa mengharapkan gajinya. Demikian pula,
manusia harus memenuhi tugasnya untuk beribadah dan menyembah Tuhan jika ingin
menerima hadiah-Nya. Lagipula, ini tidak hanya sekedar tujuan hidup, inilah
pekerjaan yang diberikan Tuhan pada kita. Umat Muslim mengakui bahwa itulah
pekerjaan bagi manusia dan jin, sebagaimana Tuhan berfirman dalam Qur’an "Dan Aku tidaklah menciptakan jin dan
manusia, kecuali untuk menyembah-Ku." (Qs. 51:56).
Banyak orang
mempertanyakan tujuan hidup, tetapi penjelasan dari banyak agama adalah seperti
yang dinyatakan di atas - manusia diciptakan tidak lain untuk melayani dan
menyembah Tuhan. Setiap elemen atau unsur ciptaan yang lain digunakan untuk
mendukung atau menguji umat manusia dalam pemenuhan kewajiban itu. Tidak
seperti pekerjaan duniawi, seseorang dapat melalaikan tanggung jawabnya kepada Tuhan
dan diberikan tenggang waktu. Namun, pada akhir dari kehidupannya, dia harus
mempertanggung jawabkan apa yang sudah dilakukannya ketika hidup, dan tentu
bukanlah hal yang baik ketika seseorang menemukan rapornya berwarna merah di
akhirat kelak.
ConversionConversion EmoticonEmoticon